Di bawah ini aku ambilkan catatan Gunawan Mohamad dari TEMPO, sengaja aku tuangkan disini, isinya cukup menarik.
Dari Buku Notes Seorang Yang Kalah
Oleh Goenawan Mohamad
Di kotak suara saya pilih Amien Rais dan Siswono. Saya tahu akan sulit sekali mereka akan menang.
Ada yang bertanya: kenapa? Jawab saya: Karena saya tahu mereka berdua tak pernah hidup dari uang sogok, dan karena mereka peka terhadap keadaan orang miskin.
Tanya: Tidakkah yang lain begitu juga?
Jawab: Mungkin. Tapi kebetulan saya tak tahu.
Beberapa teman mencela Amien dan Siswono dan mencoba menunjukkan bahwa pilihan saya salah. Baiklah. Tapi bukankah memilih dalam sebuah pemilu mengandung asumsi bahwa kita memang bisa salah? Bukankah itu sebabnya secara periodik kita menilai kembali tepatkah pilihan kita sendiri?
Pemilu adalah sebuah kombinasi antara harapan dan ironi. Ada harapan untuk memperoleh seorang pemimpin yang terbaik, tapi harapan itu sendiri diam-diam sebenarnya tak bisa mutlak di hati kita. Dalam pemilu orang yang memberikan suara adalah orang yang siap kecewa dan orang yang dipilih adalah orang yang siap dibatasi. Demokrasi yakin manusia bisa berbuat baik, tapi tahu ada cacat dalam dirinya.
***
Tanya: Anda memaklumkan diri berpihak kepada salah satu calon. Di mana independensi anda sebagai seorang budayawan? Apa gunanya?
Jawab (setelah menjelaskan bahwa saya tak paham apa itu arti ‘budayawan’): Pertama, independensi habis jika tindakan saya diatur orang lain. Dalam memilih Amin-Siswono, saya tak dikendalikan oleh kekuatan manapun.
Kedua, independensi hilang kalau saya teken kontrak akan mendukung seseorang atau sesuatu sampai mati.
Ketiga, lebih baik menentukan sikap secara terbuka, hingga orang tahu ‘bias’ saya dalam mengemukakan pendapat.
Keempat, dalam masa ketika lembaga demokrasi masih harus dikukuhkan, saya ingin aktif menyatakan, bahwa memilih dan memihak itu bukan sesuatu yang nista dan kotor. ‘Budayawan,’ apapun artinya kata yang aneh itu, bukanlah brahmana.
Tapi memang, pada setiap pemihakan ada tesirat kehilangan. Setiap pemihakan adalah bagian dari apa yang dalam kata-kata Reinhold Niebuhr sebagai ‘tugas murung politik’. Sebab ada yang tersingkir di sana, yakni kebersamaan yang inklusif. Masalahnya kemudian adalah bagaimana mengatur pemihakan itu Ada tantangan tempat dan waktu. Memihak tak berarti memihak dengan sikap yang tertutup dan statis.
***
Saya kira itulah yang terjadi pada pemilihan 2004. Berjuta orang menunjukkan pemihakan yang terbuka dan dinamis. Mereka independen. Mereka mencoblos partai X dalam pemilihan April, tapi tak selamanya mengikuti partai itu dalam hal memilih calon presiden.
‘Orde Baru’ hendak membuat rakyat sebagai ‘massa yang mengambang,’ yang tak terpaku pada satu partai karena ikatan ‘primordial’ – dan untuk itu kebebasan rakyat untuk berpolitik dihilangkan Di tahun 2004 rakyat Indonesia membuktikan diri sebagai ‘massa yang mengambang’ justru karena bebas berpolitik.
**
Semakin deras hasil hitungan suara, semakin tampak Amien Rais dan Siswono tak akan mendapatkan kans untuk masuk ke putaran kedua. Saya sedih.
Beberapa orang di Tim Sukses mengubah rasa kecewa jadi marah, dan berbicara soal ‘kecurangan’. Mereka menunjuk: Lihat, Bung, KPU kalang kabut!
Saya hanya sedih, tapi tak kecewa. Tapi KPU memang bukan tauladan manajemen yang baik. Setahu saya tak seorang di antara para anggotanya berpengalaman mengelola sebuah organisasi yang kompleks yang dituntut untuk menyusun satu jaringan perencanaan, guna menghasilkan berbagai ‘produk’ sekaligus.
Tak akan mengejutkan bila nanti ditemukan sesuatu yang tak beres di sana. Setidaknya dalam penghitungan suara, KPU adalah salah satu contoh yang sering terjadi di Indonesia: ‘salah-urus’.
Seandainya KPU diisi seorang mantan eksekutif bidang industri, atau mantan pemimpin proyek pembangunan, atau mantan kepala staf angkatan bersenjata – dan bukan hanya dosen dan aktivis yang umumnya dahsyat dalam semangat tapi lembek dalam organisasi kerja –hasilnya pasti akan lain.
Untunglah, masih ada tenaga di masyarakat yang mengoreksi apa yang kacau balau. Seorang teman bercerita bahwa panitia setempat-lah yang ambil inisiatif mengatur hal yang diabaikan KPU. Misalnya ada panitia setempat dengan cepat memutuskan, sebelum KPU tergopoh mengoreksi, bahwa kertas suara yang tembus dicoblos adalah kertas suara yang sah.
Rakyat, (artinya kita), bisa salah. Tapi ada saat-saat ketika dari kancah interaksi dengan orang lain tumbuh kearifan.
Beda antara panitia lokal dan KPU terletak dalam interaksi itu. Dari awal sampai akhir, panitia lokal, para saksi dan para tetangga di sekitar TPS berangkat dengan menyadari adanya kepentingan yang berbeda. Bahkan perbedaan kepentingan adalah alasan dasarnya. Maka ada usaha keras untuk saling mengontrol, agar cara kerja terbuka dan tak berat sebelah. Juga ada usaha untuk tak membuat bentrok dan keruwetan, terutama karena mereka umumnya hidup berdekatan.
Sebaliknya, KPU tak bertolak dari asumsi perbedaan kepentingan itu dalam dirinya. Saya tak tahu bagaimana lembaga ini mengontrol cara kerjanya sendiri.. Yang saya tahu: orang bisa menunjuk dengan mudah, ‘Lihat, Bung, KPU kalang kabut!’
***
Aneh juga saya sedih bahwa Amien-Siswono kalah – walaupun sejak mula saya tak tinggi berharap. Mungkin karena dalam tiap kekalahan ada yang disalahkan.
Tapi apa arti kalah, sebenarnya? Ada kalah yang tak perlu membuat diri malu, terutama bila kita tahu siapa yang menang. Dan jika ada yang sudah menang dalam pemilihan ini tampaknya itu bukan partai, bukan tokoh. ‘Yang menang demokrasi,’ jawab seorang perempuan muda di Yogya ketika wartawan BBC bertanya.
Seandainya diucapkan dalam pidato seorang aktivis, kalimat itu akan terasa klise. Tapi dari mulut seorang yang tak biasa bicara politik, ia membawa gema yang panjang, setidaknya di hati saya.
Mungkin karena ia benar.
Pada suatu hari saya dengar seorang ibu rumah tangga berkata kepada temannya, ‘Sekarang enak, kita bebas ngomong’.
Ia seorang warga keturunan Cina yang, seperti hampir semua keturunan Cina, di masa ‘Orde Baru’ dipandang dengan curiga bila ikut serta bicara, apalagi aktif, dalam politik. Kini perempuan itu, juga para tetangganya, ikut bergiat, bergairah, dan merasakan diri sebagai anggota dari negeri tempat mereka lahir dan menutup mata.
Ada keberanian lain. Hampir tak ada sopir taksi, pelayan restoran, tukang pijit, tukang batu, buruh pabrik, yang ragu menyatakan calon pilihan mereka atau partai yang mereka anut. Dengan cepat itu mereka utarakan, tanpa gentar akan kehilangan kerja atau pelanggan, tanpa rikuh untuk berbeda pilihan dengan si penanya..
Agaknya mereka sadar, bahwa dari merekalah datangnya suara. Mereka tahu, di kotak di TPS itu, tiap kepala adalah sebuah angka yang penting. Bu Iyah, tukang pijit itu, akan dihitung sama dengan penghuni rumah di ujung sana, Pak Fauzi Bowo, seorang wakil gubernur.
Tentu, teori tentang demokrasi sudah banyak bicara tentang ini. Tapi kini yang saya saksikan bukan teori. Yang saya saksikan adalah orang-orang di lapis bawah yang (setidaknya untuk beberapa hari), merasa punya kekuatan buat bicara ‘ya’ atau ‘tidak’ kepada orang yang mengetuk hati mereka, meminta mandat dari mereka.
Ini setidaknya berlaku di tahun 2004. Saya tak tahu bagaimana kelak. Kini ada semacam campur-aduk yang asyik, ketika kekuatan ekonomi, politik dan media masih belum dikonsentrasikan di satu dua tangan, bahkan belum menunjukkan satu dua pola yang begitu berkuasa. Jika kelak keadaan jadi seperti itu, demokrasi pun akan kalah, hanya tinggal bentuk.
***
Pemilihan presiden 2004 adalah sebuah gabungan yang masih memikat -- gabungan antusiasme sebuah demokrasi baru dan sikap skeptis sebuah demokrasi yang mulai kecewa.
Konon sekitar 80% dari pemilih yang terdaftar datang mencoblos. Tapi ada yang mengatakan, jumlah ‘golput’ bertambah. Bagi saya kedua tendensi itu sama-sama menggembirakan.
Sebab ada empat jenis ‘golput’. Ada ‘golput keruh’, yang tak pergi ke TPS karena bingung, kekurangan informasi. Ada ‘golput jenuh’, yang tak mau lagi memikirkan politik, karena sudah puas dengan keadaan atau juga sebaliknya, karena putus asa. Ada ‘golput angkuh’, yang merasa diri begitu suci dan luhur hingga harus berada di atas semua pihak.
Tapi ada ‘golput’ yang merupakan isyarat yang penting dan berguna bagi para politisi: sebagai sebuah aksi politik, sebuah protes terhadap penyelenggaraan pemilu dan perilaku para politisi. Ini sebuah suara yang menuntut perbaikan. Ini ‘golput ampuh’.
***
Sebagai seorang yang kalah, saya ingin menghibur diri: ternyata ada kemenangan lain dalam pemilihan presiden ini, setidaknya pada putaran pertama. Yang juga menang adalah sebuah komunitas yang bernama ‘Indonesia’.
Jika kita baca angka, ternyata orang memilih seorang calon bukan karena suku dan asal usulnya. Sampai 6 Juli malam, pasangan SBY-Kalla, (asal Jawa dan asal Sulawesi Selatan), menang di 16 propinsi. Tak ada pekik ‘Hidup putra daerah!’.
Dan yang pasti tak ada ukuran jender: Megawati, satu-satunya perempuan dalam persaingan ini, masih didukung luas. Dan sementara kehidupan agama Islam tetap marak, di negeri Muslim terbesar di dunia ini orang bisa mengatakan, ‘Islam’ tak memeluk lututnya sendiri.
Maka haruskah saya terus murung? Saya pandangi gambar para pemilih 2004. Tiba-tiba saya tergerak setengah menirukan sajak Sapardi Djoko Damono, berbisik ‘Biarkan aku banggakan kau, bangsaku, dengan cara yang sederhana’.
***
Jakarta, 8 Juli 2004.