Wednesday, August 25, 2004

Artikel: Ketika Iwan Fals Teringat Galang

Ketika Iwan Fals Teringat Galang

*** dari Suara Merdeka Online ***

Ketika Iwan Fals Teringat Galang

Galang Rambu Anarki adalah nama yang terkenal bukan
cuma karena ia anak Iwan Fals. Tapi juga karena inilah
anak yang namanya dijadikan judul lagu oleh bapaknya.
Anak yang meninggal muda, yang kelahirannya
diceritakan oleh si bapak lahir awal Januari,
menjelang pemilu dan harga BBM sedang membumbung
tinggi pula.

Dan anak yang ketika meninggal menimbulkan duka yang
hebat bagi bapaknya. Salah satu duka yang sangat
dikenang sang bapak ialah ketika Galang itu sering
dimintanya pergi, dilarang mendekat dan mengganggu,
ketika bapaknya tengah membuat lagu.
,Sebuah keputusan yang sangat menganggu batin Iwan Fals
kemudian dan keputusan yang amat ia sesali. Sebuah
luka yang membuat ia berjanji, akan lebih punya waktu
bagi anak-anaknya di hari ini. Saya berterima kasih
atas keterusterangan Iwan Fals ini. Dan maaf, jika
tulisan ini cuma akan membongkar kesedihannya kembali.
Tapi jika Iwan rela duka cita itu saya ingatkan
kembali, setidaknya akan bertambah lagi daftar orang
tua yang tidak akan begitu saja menghardik anak-anak
dari dekatnya.

Betapa anak-anak selalu ingin bercengkerama dengan
orang tuanya. Ketika ia menggambar, ia ingin kita
menilainya, mengaguminya. Ketika ia tengah bertengkar,
lelah dan terlukai oleh teman-teman di
sekolah, kita butuh berempati atas deritanya.
Menghibur hatinya. Ketika ia butuh bermain, ia ingin
kita menjadi teman sebayanya. Mereka ingin kita
menjadi kuda tunggangan, menjadi monster jahat yang
dia kalahkan, dan menjadi apa saja sebagai teman masa
kecilnya.

Ketika ia bicara ia butuh kita untuk mendengarnya.
Ketika ia melucu kita diperlukan untuk tertawa. Ketika
ia mengadu kita diminta membelanya, ketika ia kolokan
kita harus memanjakannya, ketika ia pamer kehebatan,
kita harus memujanya. Anak-anak adalah raja di rumah
kita. Ia tidak bisa menjadi nomor dua. Dan ketika
kita, orang tua ini gagal jadi rakyatnya, gagal jadi
hamba sahaya, ia akan menjadi anak yang terluka. Luka
yang ia bawa hingga ke sekujur hidupnya dan akan
menentukan mutu hidup dan matinya.

Tapi betapa berat untuk menjadi hamba sahaya bagi
anak-anak kita karena kita sendiri juga adalah
anak-anak dalam bentuk yang berbeda. Kita dan
pekerjaan, adalah anak-anak dan kegelapan. Ketakutan
kita akan kegagalan di masa depan, sama bentuknya
dengan rasa takut anak-anak kepada kegelapan. Kita
takut jika kesempatan ini hilang hanya karena terlalu
banyak waktu yang terbuang. Ini fokus harus kencang di
depan, seluruh harga harus dibayar di muka, seluruh
gangguan produktivitas harus disingkirkan. Hidup
adalah hari ini. Sekali harus berarti, meskipun esok
harus mati.

Maka ketika istri butuh mendekat sekedar ingin
bercengkerama, ketika anak-anak butuh memeluk hanya
sekadar untuk bermanja-manja, kalau perlu kita harus
menghardiknya. Bukan kita tak sayang keluarga, tapi
karena mereka mendekat pada saat yang tidak tepat.
Ketika kita sedang begini gentingnya berkonsentrasi
pada pekerjaan. Sedang berdarah-darah menata hari
depan, dan ini pun demi kepentingan mereka pula. Jadi
demi hidup yang di depan, kita harus berani
mengorbankan kebahagian hari ini, begitu tekat kita.

Dan benarlah. Banyak anak-anak terpaksa kehilangan
kegembiraannya di hari ini, karena orang tua sibuk
menata hari depan yang di sana. Banyak suami-istri
lupa bermesraan karena mereka sibuk merancang
kemesraan di hari depan. Sementara ketika masa depan
itu benar-benar datang, anak-anak telah kepalang
kehilangan masa kekanakannya. Ia telah menjadi pribadi
yang kepalang luka dan tak bisa menarik waktu
kanak-kanaknya kembali. Ada jenis masa depan yang
kemudian menjadi berhala, karena ia meminta terlalu
banyak tumbal kebahagiaan yang jelas-jelas sudah nyata
ada di sini, di hari ini: anak-anak kita dan
masa kanak-kanak mereka.

Prie GS

Sunday, August 15, 2004

Dirgahayu Indonesiaku!

SELAMAT.....,anda berUNTUNG ..punya negara yang bernama Indonesia
Dari kolom asal-usul KOMPAS

Hukum Mati!!
by Harry Roesli
SEORANG satpam baru saja jadi satpam, kebetulan orangnya disiplin dan taat perintah. Si satpam ini bekerja di sebuah toko swalayan dan diperintahkan oleh atasannya untuk menjaga pintu masuk ke toko swalayan. Perintah khusus dari atasannya ialah seluruh pengunjung harus menitipkan tasnya pada dia (si satpam) sebelum masuk ke toko swalayan, tanpa kecuali!!
Ketika seorang pengunjung laki-laki-tanpa membawa tas-ingin masuk ke toko swalayan tadi, kontan si satpam berteriak, "Bapak harus menitipkan tas dulu, baru boleh masuk ke dalam toko!"

Pengunjung tadi berdalih, "Lho, tetapi saya tidak membawa tas, jadi apa yang harus saya titipkan?!"

"Tidak peduli, pokoknya perintah atasan harus titipkan tas, baru masuk!"

"Tetapi, saya tidak bawa tas!"

Si satpam berpikir sejenak, lalu, "Kalau begitu Bapak pulang dulu ke rumah, lalu bawa tas, lalu ke sini lagi, lalu titipkan tas Bapak, baru saya izinkan Bapak masuk toko!"

CERITA di atas hampir mirip dengan cerita bapak polisi Banyumas yang katanya salah menafsirkan perintah. Lha kok bisa ya, seorang melati tiga salah menafsirkan perintah? Saya curiga bukannya sang melati tiga yang salah, tetapi jangan-jangan memang perintahnya yang salah. Atau mungkin perintah tadi benar, si melati tiga juga benar, yang salah ya saya ini, rakyat yang memang bodoh!

Bayangkan begitu bodohnya saya ini, sampai-sampai cukup dengan uang seratus ribu rupiah saja saya jual suara saya. Padahal kalau diingat, harga kambing saja dua juta rupiah, iya kan?
Begitu bodohnya saya, sampai-sampai saya merasa kasihan kepada seorang kakak dan adiknya yang sekarang sakit (sembari menghindari hukum) dan dirawat di Rumah Sakit Polri, gara- gara kebanyakan "makan" gula!

Begitu bodohnya saya, sampai-sampai saya percaya bahwa Margareth Thatcherm-mantan PM Inggris-itu kebanyakan minum air dari Buyat sehingga dia banyak mengandung merkuri dan bijih logam makanya dijuluki Wanita Besi!

Begitu bodohnya saya, sampai-sampai saya tidak lagi mempertanyakan kapan kasus Eddy Tanzil di-SP3- kan? Toh, Eddy Tanzilnya juga tidak ketemu-ketemu! Susah ya mencarinya? Lho, intel-intel yang banyak itu ke mana ya?

Begitu bodohnya saya, sampai-sampai saya kaget dengan ketegasan pemerintah yang mengeksekusi mati seorang bandar narkoba. Terlepas dari pro dan kontra hukuman mati, tetapi naluri kebodohan saya mengatakan, kayaknya memang perlu tegas seperti itu. Kenapa? Karena narkoba sudah merusak mental dan moral generasi muda. Nah, kalau yang merusak mental dan moral generasi tua, apa? Ya korupsi dong! Jadi, koruptor kapan di-"tegas"-kan eksekusinya? Seperti di China dan Korea koruptor dihukum mati, di sini kapan?

MEMANG kita selalu membanding-bandingkan negara kita dengan negara lain. Dan selalu kita merasa negara kita ini lebih jelek dari negara lain!

Misalnya, di China koruptor dihukum mati, di Indonesia koruptor itu hukumnya sudah "mati"! (Tuh, kita selalu memosisikan negara kita di posisi yang payah).

Singapura itu bersihnya lebih bersih dari kulitnya Shinta Bella! Jakarta? Wah, Jakarta itu kotor banget seperti kulitnya orang yang berpenyakit kulit akibat minum air di Buyat. (Nah kan, betul kan, selalu kita menganggap negara lain lebih bagus dari negara kita).

Di Eropa, orang menganggur disubsidi seribu euro! Di sini? Boro-boro yang menganggur, yang bekerja saja gajinya tidak sebesar itu! (Lagi-lagi kita selalu memojokkan kondisi di Indonesia, iya kan?).

Pemimpin di luar negeri kalau punya kesalahan pasti mundur dari jabatannya! Di sini? Mundur juga, tetapi yang mundur akhlaknya! (Tuh, kita selalu menganggap pemimpin kita itu lebih jelek kalau dibandingkan dengan pemimpin di negeri orang).

Polisi di Inggris benar-benar berwibawa dan tidak bisa disogok! Di sini? Polisi di sini juga tidak bisa disogok! Ah yang benar? Benar, tetapi polisi tidur dan polisi patung, iya kan? (Kita memang keterlaluan, selalu menjelek-jelekkan aparat, kenapa ya?).

Dan banyak lagi perbandingan-perbandingan lain yang membuat sepertinya hidup di Indonesia itu tidak ada enak-enaknya dan tidak ada untung-untungnya!

Padahal, harga CD, VCD, dan DVD di sini sepersepuluh dari harga di luar negeri! Untung kan itu?

Bahkan, untuk mendapatkan ijazah pun mudah sekali di sini, tidak seperti di luar negeri! Enak benar kan?

SIM? Wah tak perlu repot seperti mendapatkan rijbewijs di Belanda. Enak!

KTP? Sepele, jangan dibandingkan dengan ID Card di Malaysia, apalagi greencard di Amerika! Gampang dan menguntungkan.

Jadi politikus? Wah mudah, tidak perlu punya uang seperti di Amerika, cukup jago berjanji dan pandai berbohong! Murah kan? Untungkan?

Jadi pegawai negeri? Cukup masuk batalion 702. (Maksudnya masuk pukul 07.00 terus 0 alias tidak ada di kantor dan masuk lagi pukul 02.00 siang untuk absen!).

Jadi pengusaha? Ah, dekati saja penguasa! Beres! Enak!

Jadi kolumnis Kompas? Eh, saya yang bodoh saja bisa! Mudah kan?

Dan masih banyak lagi contoh-contoh lainnya.

Bukankah catatan tadi di atas adalah keuntungan bagi kita kalau hidup di Indonesia. Negara ini tidak benar, tetapi bagi orang "tidak benar" seperti saya, saya sudah benar hidup di negara yang tidak benar ini. Coba saya hidup di negara benar, pasti saya jadi tidak benar dan mungkin sudah dihukum mati! Untung kan saya?

Untung? Untung? Untung? Gundulmu sing untung!