Ketika Iwan Fals Teringat Galang
*** dari Suara Merdeka Online ***
Ketika Iwan Fals Teringat Galang
Galang Rambu Anarki adalah nama yang terkenal bukan
cuma karena ia anak Iwan Fals. Tapi juga karena inilah
anak yang namanya dijadikan judul lagu oleh bapaknya.
Anak yang meninggal muda, yang kelahirannya
diceritakan oleh si bapak lahir awal Januari,
menjelang pemilu dan harga BBM sedang membumbung
tinggi pula.
Dan anak yang ketika meninggal menimbulkan duka yang
hebat bagi bapaknya. Salah satu duka yang sangat
dikenang sang bapak ialah ketika Galang itu sering
dimintanya pergi, dilarang mendekat dan mengganggu,
ketika bapaknya tengah membuat lagu.
,Sebuah keputusan yang sangat menganggu batin Iwan Fals
kemudian dan keputusan yang amat ia sesali. Sebuah
luka yang membuat ia berjanji, akan lebih punya waktu
bagi anak-anaknya di hari ini. Saya berterima kasih
atas keterusterangan Iwan Fals ini. Dan maaf, jika
tulisan ini cuma akan membongkar kesedihannya kembali.
Tapi jika Iwan rela duka cita itu saya ingatkan
kembali, setidaknya akan bertambah lagi daftar orang
tua yang tidak akan begitu saja menghardik anak-anak
dari dekatnya.
Betapa anak-anak selalu ingin bercengkerama dengan
orang tuanya. Ketika ia menggambar, ia ingin kita
menilainya, mengaguminya. Ketika ia tengah bertengkar,
lelah dan terlukai oleh teman-teman di
sekolah, kita butuh berempati atas deritanya.
Menghibur hatinya. Ketika ia butuh bermain, ia ingin
kita menjadi teman sebayanya. Mereka ingin kita
menjadi kuda tunggangan, menjadi monster jahat yang
dia kalahkan, dan menjadi apa saja sebagai teman masa
kecilnya.
Ketika ia bicara ia butuh kita untuk mendengarnya.
Ketika ia melucu kita diperlukan untuk tertawa. Ketika
ia mengadu kita diminta membelanya, ketika ia kolokan
kita harus memanjakannya, ketika ia pamer kehebatan,
kita harus memujanya. Anak-anak adalah raja di rumah
kita. Ia tidak bisa menjadi nomor dua. Dan ketika
kita, orang tua ini gagal jadi rakyatnya, gagal jadi
hamba sahaya, ia akan menjadi anak yang terluka. Luka
yang ia bawa hingga ke sekujur hidupnya dan akan
menentukan mutu hidup dan matinya.
Tapi betapa berat untuk menjadi hamba sahaya bagi
anak-anak kita karena kita sendiri juga adalah
anak-anak dalam bentuk yang berbeda. Kita dan
pekerjaan, adalah anak-anak dan kegelapan. Ketakutan
kita akan kegagalan di masa depan, sama bentuknya
dengan rasa takut anak-anak kepada kegelapan. Kita
takut jika kesempatan ini hilang hanya karena terlalu
banyak waktu yang terbuang. Ini fokus harus kencang di
depan, seluruh harga harus dibayar di muka, seluruh
gangguan produktivitas harus disingkirkan. Hidup
adalah hari ini. Sekali harus berarti, meskipun esok
harus mati.
Maka ketika istri butuh mendekat sekedar ingin
bercengkerama, ketika anak-anak butuh memeluk hanya
sekadar untuk bermanja-manja, kalau perlu kita harus
menghardiknya. Bukan kita tak sayang keluarga, tapi
karena mereka mendekat pada saat yang tidak tepat.
Ketika kita sedang begini gentingnya berkonsentrasi
pada pekerjaan. Sedang berdarah-darah menata hari
depan, dan ini pun demi kepentingan mereka pula. Jadi
demi hidup yang di depan, kita harus berani
mengorbankan kebahagian hari ini, begitu tekat kita.
Dan benarlah. Banyak anak-anak terpaksa kehilangan
kegembiraannya di hari ini, karena orang tua sibuk
menata hari depan yang di sana. Banyak suami-istri
lupa bermesraan karena mereka sibuk merancang
kemesraan di hari depan. Sementara ketika masa depan
itu benar-benar datang, anak-anak telah kepalang
kehilangan masa kekanakannya. Ia telah menjadi pribadi
yang kepalang luka dan tak bisa menarik waktu
kanak-kanaknya kembali. Ada jenis masa depan yang
kemudian menjadi berhala, karena ia meminta terlalu
banyak tumbal kebahagiaan yang jelas-jelas sudah nyata
ada di sini, di hari ini: anak-anak kita dan
masa kanak-kanak mereka.
Prie GS